Perihal Legowo Dan Permasalahan Dewasa Kita
Saya bersyukur hari-hari berjalan semakin cepat sehingga saya tak punya banyak waktu untuk bersedih.
Tahun 2024 dimulai sekitar dua bulan yang lalu, ketika saya harus memutuskan untuk tinggal dan bekerja di Surabaya. Semenjak itu, saya benar-benar merasa sedang disuap paksa oleh semesta tentang pelajaran hidup yang dulu seringkali saya anggap remeh; ikhlas, atau kami orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah legowo.
Bukannya apa-apa, tapi masa kecil saya sudah kenyang akan nasihat. Bahwa dalam hidup, manusia harus menerima jika dia tidak selalu bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Seringkali diajarkan untuk pasrah dan menelan harap; bahwa suatu saat, pasti akan ada kesempatan bagi saya untuk mendapatkan yang lebih, sementara tugas saya sebagai manusia hanyalah berjuang dan berdoa.
Namun, yang baru-baru ini saya sadari adalah, bahwa penilaian tentang hal yang menurut saya baik dan layak, ada kalanya keliru. Hal-hal yang tidak ditakdirkan untuk saya. Sekalipun saya berjuang sekeras yang saya bisa untuk mempertahankan, kalau pada dasarnya tidak cocok, adalah ketetapan Tuhan agar saya merasa sakit sebagai sinyal untuk mundur dan sadar. Bahwa yang menurut saya baik, bukan berarti selamanya baik untuk saya. Benar saja, selama berjuang seringkali saya seakan terlena dalam situasi kabur, kenyamanan semu, dan pemahaman yang tidak menguntungkan. Hal itu membuat saya merasa terbiasa frustasi sampai kehilangan arah. Saya sadar bahwa itu tidak benar, dan usaha untuk keluar dari frustasi saya adalah antara memperjuangkan, atau merelakan. Bapak dan Ibu saya adalah tipe orang tua yang gigih memberikan support agar anaknya memperjuangkan hasil terbaik. Saya sedari kecil terbiasa didorong untuk terus maju dan mencoba lagi ketika gagal menggapai sesuatu. Mungkin oleh sebab itu, pada akhirnya meskipun gagal berulang kali, mengimplementasikan kata legowo tetaplah hal yang sulit.
Saat ini usia saya 19 tahun, dua bulan lagi sebelum akhirnya 20. Seiring berkembangnya proses berpikir dan kesadaran untuk mengenal diri sendiri secara lebih mendalam, saya melakukan tes kepribadian, juga mempelajari teori tentang pembentukan karakter dan proses pendewasaan seseorang. Saya cukup yakin bahwa saya adalah seorang introver. Pengalaman-pengalaman baru yang saya lalui, terutama sejak akhir tahun 2023, membuat karakter saya cukup banyak berkembang hingga agaknya mudah bagi saya untuk semakin menutup diri dan memblokir interaksi yang tidak perlu. Saya merasa tidak perlu menyembunyikan fakta sekalipun itu akan berdampak pada perlakuan orang lain terhadap saya. Saya rasa, saya sudah cukup matang untuk mengerti dan menanggung konsekuensinya. Sikap skeptis akan segala hal semakin saya perlukan untuk mencegah rasa sakit dan kesulitan ketika harus bersikap legowo, juga membatasi pikiran saya agar tidak menaruh harap secara sembarang. Hal itu disebabkan semata-mata karena sikap legowo bagi saya masih cukup sulit untuk dilakukan.
Saya baru sadar, setelah ini mungkin saja tulisan saya akan menyinggung beberapa pihak.
Suatu siang di awal tahun 2023, salah satu customer salon tempat saya bekerja di Kediri pernah berkata bahwa rata-rata, proses pendewasaan perempuan lebih cepat daripada laki-laki. Saya lumayan terhenyak ketika mendengarnya. Tidak bisa menahan diri untuk bertanya alasan beliau dengan percaya diri mengeluarkan statement semacam itu. Mungkin kalau dipahami, saya pun punya beberapa alasan untuk menyetujuinya. Namun, rasanya tidak adil jika saya juga langsung berpikiran begitu. Penyataan beliau terlalu menggeneralisasi laki-laki, sementara di dunia ini saya melihat laki-laki dan perempuan adalah sama. Mereka sama-sama individu sederhana yang berkepribadian kompleks, seperti halnya saya. Lalu, mengapa beliau bisa berpendapat begitu?
Ini cukup menarik saya bilang. Menurut beliau, alasan mengapa proses pendewasaan atau perkembangan emosional laki-laki dinilai cenderung lebih panjang, disebabkan adanya perbedaan budaya masyarakat kita dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan. Di dalam kehidupannya, sejak bertahun-tahun silam, laki-laki didoktrin untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan atau dominan daripada perempuan. Hal ini saya pikir juga disebabkan adanya kebudayaan patriarki. Laki-laki biasanya enggan untuk mengutarakan perasaan yang membuatnya terlihat lemah dan melankolis. Mereka tidak seperti kebanyakan perempuan yang leluasa menceritakan tentang diri mereka tanpa ada rasa takut dihakimi oleh orang lain maupun perasaan mereka sendiri. Laki-laki kebanyakan sangat tertutup mengenai perasaan mereka. Hal ini, menyebabkan fase denial dalam diri mereka semakin panjang dan lama. Pembahasan tentang perasaan seorang laki-laki banyak dianggap dapat mencederai harga diri mereka, tedensi emosional dinilai sebagai hal negatif. Padahal, ini sangat berpengaruh dalam fase mengenal dan penerimaan diri, serta kemampuan mereka dalam memproses informasi yang berkaitan dengan emosi sebelum akhirnya dapat dirasa sudah dewasa secara emosional.
Kedewasaan emosional ini sangat berpengaruh dalam proses seseorang memecahkan suatu masalah. Penerimaan emosi, terutama emosi negatif dapat secara perlahan menimbulkan pemahaman bahwa rasa sakit dan sedih sifatnya juga universal. Sama halnya dengan perasaan bahagia. Seseorang yang berada dalam fase denial atau penyangkalan bisa saja terdorong untuk menyelesaikan emosi mereka sedemikian rupa, entah itu dengan menerima dan mengatasi, atau lari dengan tidak mengakui keabsahannya sama sekali.
Ini yang saya katakan, bahwa seseorang yang telah dewasa secara emosional cenderung memilih untuk menerima dan menghadapi masalahnya seefisien dan seefektif mungkin, daripada lari dan berlarut-larut dalam perasaan negatif akan masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Dewasa secara mental menurut saya berarti, jika seseorang telah paham dan mengakui bahwa yang merasakan suatu emosi bukanlah mereka sendiri. Mereka mampu mengidentifikasikan emosi, kemudian membiarkan kesadaran akan evolusi emosi dalam diri mereka timbul. Bahwa rasa sakit dan penderitaan bukanlah sesuatu yang perlu disembuhkan, melainkan bagian dari pengalaman dan intisari hidup yang tidak dapat terhindarkan. Percaya bahwa selalu ada sisi baik dalam konfliks. Dengan adanya kesadaran ini, seseorang mampu melihat dunia sekitar dengan visi impersonal dan belas kasih terhadap kondisi sesamanya. Tanpa adanya asosiasi pribadi yang membuatnya merasa paling tersakiti.
Namun, tidak dipungkiri di zaman digitalisasi seperti sekarang, masyarakat modern berevolusi sangat cepat. Terutama dalam hal pengolahan emosi dan kesadaran akan adanya kesetaraan gender. Saya tidak bisa mengatakan kalau statement beliau salah, mungkin saja dulu pernah benar, tetapi sudah tidak lagi relevan di zaman di mana manusia sudah memiliki kesadaran akan kebebasan dalam mengekspresikan diri. Mungkin juga masih relevan, tetapi hanya sebagian kecilnya saja. Mungkin juga saya yang tidak tahu apa-apa. Yang jelas, tanpa saya coba tutup mata, tiap individu, entah dia perempuan atau laki-laki adalah kesederhanaan yang kompleks. Proses berpikir tidak dapat dilihat dan dinilai semata-mata dari gendernya saja.
Dunia sudah banyak berubah, Tante. Saya yakin saya tidak sendirian yang merasa demikian. Jadi, hari ini, saya bertekad merelakan dengan ikhlas hal-hal baik terdahulu, yang mungkin tidak baik bagi saya.
"Yang pasti hanyalah masa lalu--dan kepastian terjauh di masa depan semata-mata hanyalah kematian."
Regards,
Anormaly
Komentar
Posting Komentar